Menjelang penghujung akhir tahun lalu, Ketua DPR RI, kembali membuat pernyataan kontroversial. Dalam kunjungannya ke Ponpes LDII Gading Mangu, Jombang, ia berkata: bahwa pesantren selama ini hanya memproduksi kemiskinan-kemiskinan baru! Dalilnya: banyak output pesantren yang tak punya bekal keterampilan memadai untuk “dijual” pada pasar masyarakat luas. Lantaran ketika di Pesantren santri hanya dijejali ilmu-ilmu agama belaka (Indopos, 27/12).
 
Sebagai orang yang pernah merasakan pahit-manisnya kehidupan bersahaja khas Pesantren, tentu penulis gusar dan bahkan geram. Pasalnya, selama ini penulis menganggap Pesantren sebagai acuan pendidikan alternatif nan mencerahkan, ketika para orang tua wali justru berlomba-lomba memasukkan anaknya ke SBI yang yang hanya mendewakan kuantitas dan angka. Juga, Pesantren merupakan sub-kultur yang ikut merawat kelanggengan khasanah budaya Nusantara –ketika kebanyakan kita justru tersihir oleh gemerlap banalitas budaya Barat. Lalu, apa yang salah dengan Pesantren hingga harus dapat ketok palu sekeras itu? 
Bergerak dari pesantren
Pernyataan bahwa Pesantren sebagai produsen kemiskinan sejatinya memiliki dua makna yang ambigu. Pernyataan ini mengandung kebenaran sekaligus kesalahan yang fatal. Tergantung perspektif apa yang kita gunakan untuk melihatnya. Sebab satu sisi, kini telah bertebaran Pesantren yang menjadikan wirausaha-enterpreneurship sebagai salah satu pilar dasarnya. Di sisi yang lain, kita juga tak dapat memungkiri bahwa masih ada sebagian mind-set santri yang menganggap kemisikinan sebagai takdir, dan bahkan anugerah yang tak terkira. 
Ini misalnya menemukan buktinya yang paling miris dalam memahami arti zuhud atau asketisme. Sudah menjadi rahasia umum, banyak santri yang mengidentikkan zuhud dengan berpakaian lusuh, tak memikirkan plan ke depan (thulul amal),tak punya pekerjaan tetap, dan segala hal ikhwal yang bisa kita sebut sebagai culture of poverty (budaya kemiskinan). 
Padahal jika mau ditelisik lebih dalam, laku zuhud tak ada kaitannya sama sekali dengan berapa jumlah pundi-pundi harta kita. Zuhud adalah prilaku hati yang tak silau dengan dunia. Bukan sikap alergi terhadap dunia. Islam tak pernah mengajarkan pemeluknya untuk mencintai kemiskinan. Bahkan sahabat Ali bin Abi Tholib pernah berkata: kada al faqru an yakuna kufro. Kemisikinan sesungguhnya lebih dekat dengan kekafiran. Lantaran, tidak sedikit orang yang tak segan menjual keimanannya hanya demi beberapa lembar rupiah.
Dalam konteks ini, usaha penyadaran dan pemberdayaan santri menjadi sangat vital. Salah satu alternatif yang bisa ditawarkan adalah: membudayakan (kembali) gerakan wakaf buku. Kenapa buku? Karena buku adalah jendela seseorang untuk dapat membuka cakrawala berpikirnya seluas mungkin. Buku juga dapat membuat si empunya menjadikan menulis sebagai salah satu tumpuan mata pencaharian. Lebih jauh lagi, buku-lah yang yang telah turut andil dalam melahirkan dan merekam laju peradaban.
Berkaca pada sejarah, hampir semua dinasti masa keemasan Islam menjadikan perpustakaan sebagai sentral programnya. Khalifah al-Ma’mun misalnya. Menurut Reynold A. Nicholson, sejarawan terkemuka, sang khalifah menaruh perhatian besar terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Ia mengutus ilmuwan Islam untuk mentransliterasi buku-buku pengetahuan Romania ke dalam bahasa Arab. Proyek ini ternyata juga menarik minat para hartawan untuk turut berpartisipasi. Tiga bersaudara keluarga Bani Musa, para konglomerat ternama pada saat itu, mendatangkan para penerjemah dari negeri Ajam dengan imbalan honor 500 dinar perbulan. Para penerjemah itu ditempatkan oleh sang khalifah dalam sebuah gedung mewah bernama Baitul Hikmah (jika di Indonesia sekarang mungkin seperti LIPI). Disamping menerjemah, mereka juga menghabiskan waktunya untuk mendiskusikan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan dengan para sarjana Islam. 
Hal demikian juga terjadi pada masa khalifah Abdur Rahman III di Andalusia. Sang khalifah mengirim utusan untuk membeli naskah-naskah ilmu pengetahuan ke negeri maju, hingga di dalam istananya saja terkumpul 400 ribu naskah. Istana sang khalifah penuh sesak oleh pegawai perpustakaan, penerjemah dan pejilid buku. Dari sinilah, Islam turut menyumbangkan pengetahuan yang berharga tentang geometri, astronomi, filsafat dan seni pada kancah sains dunia.
Sayang, perpustakaan yang sudah dibangun demi menjaga dan mengembangkan peradaban Islam itu, akhirnya tumbang. Pasukan Mongol di bawah komando Hulaghu Khan menghancurkan perpustakaan Chawarizm di Turkistan dan Baitul Hikmah yang legendaris itu (1258 M). Selanjutnya, perpustakaan-perpustakaan di Tripoli dan Syiria juga bernasib sama akibat perang Salib. Sejak saat itu, fajar kegelapan mulai menelikung sekujur peradaban Islam hingga sekarang. Karena, tanpa buku peradaban Islam menjadi pincang. Sebab ada aksioma berkata: jika ingin menghancurkan peradaban suatu negeri, bakarlah habis perpustakaan di dalamnya! Begitu juga sebaliknya! 
Menulis memproduksi peradaban
Dalam studi post-kolonial, menulis merupakan salah satu strategi menyerang bailk kebudayaan yang terlampau hegemonik. Menulis juga adalah upaya penyeimbang dan penjaga gawang peradaban agar tetap kokoh dari terpaan badai zaman. Pepatah Arab juga mengamini hal ini: ma hufidzo farro, wa ma kutiba qorro. Apa yang dihafal akan raib dan apa yang ditulis akan abadi. Tentu saja, selain fungsi itu, menulis juga mempunyai sisi komersialitas yang menjanjikan. Sebut saja, misalnya, Habiburrahman el-Shirazy dan Ahmad Fuadi. Mereka berdua adalah sedikit penulis muslim dalam Negeri yang karyanya mampu menjadi best-seller dan menginspirasi banyak khalayak. Di samping mendulang lini finansial mereka tentunya.
 
Oleh karena itu, jika ustadz Nasrullah hendak membangkitkan peradaban Islam lewat property dengan jurus Spiritualpreneurship-nya, Habiburrahman el-Shirazy dengan Pesantren wirausaha-nya, maka bolehlah jika mulai sekarang yang menjadi fokus utama kita adalah gerakan wakaf buku secara massif dan kolosal untuk pesantren-pesantren. Bangun perpustakaan bibliografis selengkap mungkin untuk membuka cakrawala berpikir santri. Dirikan pusat-pusat perpustakaan bahkan di Pesantren yang paling tak terjangkau sekalipun. 
Jadikan pesantren sebagai center of knowledge dan center of civilized, bukan center of poverty yang dituduhkan oleh pejabat tinggi negeri ini. Berdayakan santri, ustadz, dan semua unsur pesantren. Tancapkan keyakinan di palung hati mereka, bahwa budaya mendengar dan menghafal dalam artiannya yang pasif, kini sudah tak lagi relevan. Sebaliknya, budaya membaca dan menulis sudah waktunya digalakan. Ini dilakukan, karena sungguh, Pesantren-lah miniatur dan benteng terakhir ke-Islaman kita. Langkah ini mungkin klise, sederhana dan bahkan remeh. Tapi penulis percaya, optimisme kerapkali tumbuh justru dari hal-hal kecil yang amat sederhana. 
Jika itu semua sudah kita amalkan, penulis yakin, nujuman Samuel Huntington akan menemukan titik terangnyanya di sini. Menurut Samuel dalam bukunya The Clash of Civilization, masa keemasan (golden time) Eropa dan Amerika lambat laun akan segera beringsut ke tangan “Islam”. Bagaimana menurut Anda? Wallahu A’lam.
Dimuat di Harian Umum Republika 13/06/2012