Setelah dua kemenangan berturut-turut itu, hampir satu tahun aku terjebak vakum menulis. Block-writing yang begitu akut. Zona nyaman telah melilit daya kreatifitasku. Mungkin inilah di antara alasan kenapa banyak penulis yang tumbang di tengah karir kepenulisannya: merasa nyaman di zona lain hingga abai pada ritual tulis-menulis.
Sampai datanglah saat-saat mendebarkan itu: Sabtu, 23 Mei 2009, di rubrik Teroka, Kompas, asuhan sastrawan Radhar Panca Dahana, tulisanku bertitel Kapital Sebagai Sesembahan Sejarah, menampar alter ego-ku yang congkak secara telak.
Inilah awal kali tulisanku berhasil menggagahi “barometer” koran sastra-nasional: Kompas.
Bersambung… Hehehe,,,
Sangat menginspirasi. Inilah potret "Guru Penggerak" yang sebenarnya.
Membaca diksi diksi ini, menjadikan saya sebagai salah satu dari sekian juta pemuda Indonesia lebih bersemangat... Terimakasih Mas Anwar, diksi…
Keren sekali. semangatnya perlu diapresiasi. dengan membaca diksi diksi indah ini ada getaran untuk menggugah jiwa pemuda pemudi Indonesia. Terimakasih…
Keren. Semangatnya sangat luar biasa. Semoga menular kepada seluruh generasi yang ada di daerah lainnya.
Kisah yang sangat hebat kak