(Refleksi untuk Temu Karya Karang Taruna 2011)
Setelah melewati proses pemilihan yang melelahkan di Hotel Patra (14/05), akhirnya Raji Supriyadi berhasil lolos untuk mengemban jabatan ketua Karang Taruna Kabupaten Cirebon priode 2011-2016, menggantikan seniornya, Abdur Ro’uf. Raji Supriyadi, calon yang konon didukung Bupati itu, menang telak atas dua kandidat lainnya: Haidar dan Ivan Maulana. Raji meraup perolehan suara 63 %. Haidar 21 % dan Ivan Maulana 15 %. Ini belum menghitung beberapa kecamatan yang tak bisa menggunakan hak pilihnya lantaran “tak memenuhi” proses administaratif. Seperti Losari, Pabuaran, Plered dan Arjawinangun. Tetapi, sejujurnya, bukan itu permasalahan yang utama. Melainkan, ke manakah kelak Raji akan membawa gerbong Karang Taruna ini?
Kita tahu, organisasi Karang Taruna selama ini masih dipandang sebelah mata eksistensinya. Jika boleh menyebut, Karang Taruna adalah satu-satunya organisasi pemerintah (Government Organization) yang la yamutu wa la yahya: hidup segan, matipun enggan. Keberadaannya cuma sekadar plang papan nama belaka. Tidak ada satupun prestasi atau power yang bisa dibanggakan dari organisasi ini. Ini terbukti, dari 40 Karang Taruna Kecamatan yang tersebar di seantero Kab. Cirebon, keberadaanya tak lebih dari sekadar, meminjam ungkapan Sapardi Djoko Damono, ibarat lebah tanpa sengat: tak mampu melakukan aksi sosial apapun yang berdampak luas. Karang Taruna setingkat Kabupaten sekalipun, yang penulis tahu, belum mampu menjadi agen perubahan (agent of change) di masyarakat. Paling jauh, hanya sekadar kegiatan-kegiatan seremonial-insidental yang tak bermakna apa-apa secara substansial. Apalagi Karang Taruna kelas Desa yang setiap pasca-pelantikan pengurus baru, selalu kebingungan: apa yang harus kami lakukan dengan segala keterbatasan ini?
Ini bisa diwajari. Karena, sebenarnya pemerintah tak pernah benar-benar memikirkan Karang Taruna. Meski banyak yang mengatakan bahwa Karang Taruna adalah mitra pemerintah (Dinas Sosial), itu cuma jargon yang tak ada isinya. Buktinya, sampai saat ini Karang Taruna tak pernah punya kewenangan dan anggaran yang jelas. Keberadaannya sebagai organisasi di bawah pemerintahan yang sah, tak pernah ditanggapi dengan semestinya. Karang Taruna diperlukan hanya untuk sebatas nama, SK, dan pelantikan saja. Setelah itu, selesai perkara. Selama 5 tahun masa jabatan, tak ada kabar dan ujung pangkalnya. Dari sinilah lahir sebuah paradoks: jika pemerintah meyakini bahwa pemuda adalah tumpuan potensi dimana nasib daerah ini akan dipertaruhkan, kenapa hingga saat ini pemerintah masih melalaikan Karang Taruna (utamanya di pelosok Desa)? Alih-alih memikirkan Karang Taruna, pemerintah justru sibuk menumpuk pundi-pundi kekayaan sebelum masa jabatannya habis, berplesiran sambil memupuk massa, sembari melongok barangkali ada kursi jabatan kosong di level yang lebih tinggi sana: Provinsi. Sungguh, Karang Taruna telah yatim-piatu secara paripurna.
Satu-satunya Karang Taruna yang masih mungkin diharapkan kinerja dan partisipasi sosialnya adalah Karang Taruna level Kabupaten. Alasannya, pertama, Karang Taruna Kabupaten berada di pusat kota. Tempat segala hal bisa diakses dengan mudah, termasuk akses kucuran dana dari segala arah: institusi maupun sponsor instansi. Kedua,  Karang Taruna Kabupaten berada tepat di bawah rezim berkuasa: Bupati, Dinsos, BKPPD & Pemda. Harus kita akui, keempat unsur ini adalah muara dimana sumber dana mengucur dengan derasnya. Bahkan menurut data yang penulis lansir dari LPJ TKKT di Patra kemarin, Karang Taruna priode 2006-2011 saja berhasil menghimpun dana sebesar Rp. 190 juta dari pemerintah maupun instansi.
Ini tentu angka yang sangat bombastis untuk konteks organisasi “kacangan” sekelas Karang Taruna. Hanya Karang Taruna Kabupaten yang bisa mendapat kucuran dana sebesar itu. Ini belum menghitung berbagai fasilitas lain yang diperoleh secara cuma-cuma oleh Karang Taruna Kabupaten, seperti kendaraan roda dua, seperangkat komputer dll. Untuk Karang Taruna level Kecamatan atau Desa, jangankan 190 juta, untuk dapat anggaran pertahun 1 juta dari ADD (Anggaran Dasar Desa) saja, kadang harus “bertempur” mati-matian dulu dengan para Kuwu yang culas. Saking culasnya, ada kasus seorang Kuwu yang memalsukan stempel Karang Taruna dahulu agar jatah 1 juta tidak usah dikeluarkan untuk Karang Taruna priode sekarang. Dari sinilah letak perbedaan itu begitu jomplang. Maka sangat disayangkan, jika dengan limpahan dana dan fasilitas itu, Karang Taruna Kabupaten tetap stagnan dan tak menorehkan hal berarti untuk generasi kemudian.
Karena itulah, penulis punya beberapa catatan untuk Karang Taruna priode 2011-2016 dan masa yang akan datang. Bahwa syarat Karang Taruna bisa terus hidup (yang benar-benar hidup) adalah, pertama, konsolidasi gerakan. Jalinan komunikasi yang berjalin-kelindan dari atas hingga ke bawah secara kontinu menjadi sangat penting di sini. Ini dilakukan agar kemungkinan miss-komunikasi hingga berujung pada ketercerai-beraian dalam tubuh Karang Taruna sendiri bisa diantisipasi sejak dini. Juga, agar mempermudah kawan-kawan Karang Taruna di pedalaman sana untuk mengakses informasi yang cukup tentang perkembangan Karang Taruna terkini. Kedua, kaderisasi. Ini mungkin kelemahan paling akut dari mayoritas organisasi di Negeri ini. Banyak organisasi yang gulung tikar, atau minimal tinggal nama, karena langkanya kader yang mampu melanjutkan tapak-jejak sang pendahulu. Jika hal ini terus dibiarkan, tentu bisa berbahaya: Karang Taruna bisa benar-benar punah dan hanya menjadi puing-puing nama belaka. Karenanya, melakukan pelatihan kaderisasi secara rutin dan simultan dari pusat ke bawah adalah hal niscaya yang harus dilakukan oleh pengampu Karang Taruna saat ini.
Ketiga, donasi. Poin ini memang sangat klise dan pragmatis. Tapi apa mau dikata, beginilah faktanya. Tanpa adanya donasi yang cukup dari berbagai pihak, terutama pemerintah tentunya, Karang Taruna akan terseok-seok dalam menjalakan programnya –seperti yang lazim terjadi di pedesaan. Meski kita mempunyai SDM yang melimpah, tanpa ditunjang oleh SDA yang memadai, saya yakin lambat laun SDM itu akan lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang Karang Taruna dan lebih memilih wadah yang dapat memaksimalkan SDM yang dimilikinya menjadi SDA. Tapi meski demikian, donasi bukanlah segalanya, meski tetap yang utama. Ada poin keempat yang musti dipahami dengan baik: independensi. Artinya, Karang Taruna harus bisa berperan sebagai subjek, bukan hanya melulu menjadi objek! Karang Taruna yang tak hanya mampu menjajakan proposal, tapi justru memfasilitasi proposal. Karang Taruna sebagai lokomotif, bukan gerbong yang dengan seenaknya disetir oleh kepentingan segelintir orang. Meskipun secara struktural Karang Taruna adalah mitra pemerintah (bukan bawahan), tapi sikap kritis dan independensi tak boleh ditanggalkan begitu saja. Apalagi dengan sikap pemerintah yang selalu “menganak-tirikan” Karang Taruna. Inilah yang dinamakan “mitra kritis”!
Mungkin uraian di atas seperti “mimpi di siang bolong” yang akan sangat musykil untuk digapai. Tapi, selama matahari masih berada di atas kepala kita, sebenarnya apa yang tak mungkin? Mengutip Jacques Derrida, filsuf Prancis yang legendaris itu, commencons par l’impossible: marilah kita mulai dengan yang tak-mungkin. Nah!
Akhir kalam, mudah-mudahan penyelenggaraan TKKT yang menghabiskan dana 35 juta itu (angka yang sebenarnya bisa digunakan untuk menghidupi Karang Taruna di Desa), tak hanya menjadi  acara seremonial belaka yang tak berefek positif apa-apa. Melainkan bisa menjadi start awal Karang Taruna priode 2011-2016 untuk melangkah ke depan dengan lebih menawan. Bagaimana menurut Anda? Wallahu A’lamu Bihi.