(Essai ini saya tulis ketika saya masih duduk di bangku kuliah –meski sekarang tak lagi. Bukan berarti aku sudah mencapai artefak sarjana, tapi lantaran materi akademik dan tenaga pengajar (dosen) di institusiku justru membuat otakku kian tumpul dan bebal.)
Belajar logika dapat menyebabkan manusia menjadi plin-plan, pragmatis, picik, bebal, profan, kehilangan kreativitas, improvisasi, spontanitas dan ikhlas.
Itulah kesimpulan yang kuutarakan pada dosen logika di kampusku. Ia marah, kebakaran jenggot. Tak terima uraiannya yang panjang lebar itu aku simpulkan dangan parafrase yang menukik seperti pesan dalam bungkus rokok.
Nir-Logika
Aku juga menambahkan: bahwa pak dosen tak proporsional, tak professional, dan amat emosional daripada rasional. Bagaimana tidak? Ia mengajariku untuk selalu berlogika secara proporsional (melakukan sesuatu yang sesuai dengan realitas, kata dosen), padahal ia senidri mengingkarinya. Buktinya: dosen berkata bahwa ia tak sombong, sembari menceritakan tentang kisah sukses keluarganya yang melangit kepada kami. Paradoks pertama.
Ia juga mendikteku untuk tidak menggunakan logika over-generalisir (menyamaratakan semua kasus), tapi justru dialah yang awalkali melanggarnya dengan bercerita: jika kalian ingin sukses, tirulah jejak hidupku dan keluargaku. Pasti kalian akan sukses. Pak dosen menganggap, bahwa jalan kesuksesan mutlak hanya satu seperti yang telah dilakoninya. Pak dosen lupa, kebutuhan orang setiap zaman tentu selalu berbeda. Jadi tak mungkin menyamakan proporsi yang satu dengan yang lainnya. Nilai seorang ayah dan dolar saja kini beda, meminjam istilah sastrawan Radhar Panca Dahana. Paradoks kedua.
Ia bahkan membeberkan satu sample yang amat menyalahi koridor logika: argumentum ad hominem, logika yang selalu mempersalahkan korban. Katanya: “aku sangat benci kepada orang miskin yang meminta-minta dan ngamen di jalanan. Menurutku, mereka adalah manusia-manusia malas yang tak perlu dikasihani”. 
Seturut para psikolog, prilaku demikian adalah rasionalisasi “anggur masam”. Dengan cara ini orang meredakan perasaan bersalahnya karena tidak mau/bisa membantu korban, sekaligus menaikkan citra dirinya yang berhasil keluar dari kutukan korban (kemiskinan). Dalam cerita Aesophos, srigala ingin memetik buah anggur ranum yang dilihatnya. Tapi ia tak berhasil menggapai buah anggur itu. Sambil pergi, ia mendengus: “ah, dasar anggur masam!”. William Ryan, sosiolog ahli kemiskinan, menyebut kerancuan berpikir ini sebagai blaming the victim (mempersalahkan korban).
Orang jadi miskin karena dia bodoh, malas, tak memiliki jiwa berkompetisi, fatalis, dan segala hal yang disebut “culture of poverty”. Padahal kita semua tahu, mereka miskin karena cangkang sistem di negeri ini memang tak mendukung mereka untuk terangkat dari jurang kemiskinannya. Karena kesempatan hanya milik mereka yang pintar dan berpunya. Alih-alih mereka dipedulikan, orang bodoh dan miskin di negeri ini hanya selalu dijadikan korban dan kambing hitam. Inilah blaming the victim. Dalam logika disebut: argumentum ad hominem. Untuk kasus orang miskin yang pak dosen klaim sebagai pemalas, ini namanya keterlaluan. Paradoks ketiga.
Memang, menjadi manusia berlogika di kampus ini teramat sulit. Sesulit menyadarkan dosen logika yang tak berlogika itu. Paradoks keempat.
Mahasiswa?
Di dalam kampusku, atau mungkin mayoritas kampus di Indonesia, mahasiswa lazimnya seperti robot: patuh, diam, mandeg, dan tak tergerakan jika memang si pemegang remot kontrol (dosen) tak menggerakannya. Tapi aku, satu di antara sekian kecil jumlah mahasiswa lain, memilih untuk tak menjadi robot. Kami tetap memilih kodrat sebagai manusia, betapapun banyak kekurangan yang kami miliki untuk sampai pada kriteria itu. Tapi kami takkan inkar pada Tuhan yang sudah mengembankan amanat kemanusiaanan itu pada kami.
Maka jadilah kami mahasiswa-manusia yang tak mau diam saja melihat dosen memperlakukan kami  semena-mena. Termasuk dalam memberikan wejangan akademisnya. Kami lebih nyaman jika apa yang disampaikan dosen dianggap sebagai satu kemungkinan kebenaran yang tak mutlak. Kami masih dapat menemukan kebenaran itu di tempat lain, bukan hanya di ruang kuliah, tapi di mana saja. Meski untuk mencapai kesimpulan akhir kebenaran itu tetap dirasa sangat musykil dan nisbi. Atau bahkan, tak mungkin, belum mungkin, seperti sabda Derrida.
Tapi ternyata itu bukan hal yang mudah. Dosen yang merasa dirinya sebagai agent of knowledge tak mau posisinya yang absolut sebagai pembawa risalah kebenaran digeser begitu saja. Baginya, dia harus selalu benar dan haram salah. Yang wajib salah adalah mahasiswa –sekumpulan manusia idiot yang memang harus selalu ditatar dan disuapi.
Maka apapun bentuk kritik yang dilemparkan mahasiswa, sevalid dan setajam apapun itu, sekonstruktif apapun itu, jika itu dilakukan di kampus kami, akan tetap dianggap tak memenuhi standar ilmiah yang rigor. Apalagi jika mahasiswa itu baru semester I yang masih bau kencur seperti aku.
Para dosen itu lupa, seperti yang pernah diujarkan Soe Hok Gie: murid bukan keledai yang selalu salah dan perlu ditatar. Guru juga bukan malaikat yang selalu baik dan benar.