Galih Bersama Tropi SATU Indonesia Awards 2020 (Dok. Pribadi)

Pertengahan 2009. Saat itu ia sudah duduk di bangku kelas III Sekolah Menengah Atas. Di kala nyaris seluruh teman angkatannya tenggelam dalam euforia kelulusan dan persiapan melanjutkan pendidikan ke kampus idaman, remaja ini justru dirundung duka nestapa yang amat dalam.

Ayahnya yang bekerja sebagai tukang las di kawasan Tanjung Priok Jakarta mengalami insiden kecelakaan lalu lintas ketika hendak pulang menuju Banjarnegara. Lutut sampai mata kaki sang ayah tertimpa dan terseret motor hingga mengalami luka serta patah tulang yang sangat serius.

Untuk sementara waktu, cita-citanya hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ia kubur lebih dahulu. Saat itu ia hanya ingin mencurahkan fokusnya pada kesembuhan sang ayah yang amat dicintainya.

Remaja itu sadar, ia hanya berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Moch. Solichin (55) hanya berprofesi sebagai tukang las di tempat yang hingga kini masih dirahasiakan. Tujuannya, agar anak-anaknya tak menanggung malu dan prihatin melihat tempat kerja sang ayah di kumuhnya pinggiran Ibukota. Ibunya, Warsiti (55) hanya pedagang sembako kecil-kecilan di pojokan desa.

Bisa sekolah hingga jenjang SMA saja, remaja itu sudah sangat bersyukur. Sebab di kampungnya, gelar sarjana merupakan kemewahan yang tak terkira. Hanya kalangan tertentu saja yang sanggup menyekolahkan anak hingga ke jenjang sarjana. Kebanyakan hanya lulus SMA, setelah itu mayoritas coba mengadu peruntungan nasib di ganasnya Ibukota.

Kendati demikian, orang tua remaja itu diam-diam sudah berikrar dalam hati sejak dulu. Bahwa anak-anak mereka kelak harus sekolah setinggi-tingginya agar tak perlu merasakan perihnya nasib yang menimpa mereka. Moch. Solichin dan Warsiti memang pasangan yang hanya sanggup menamatkan sekolah hingga jenjang menengah. Keduanya bahkan dipertemukan di sebuah perusahaan perkebunan di Ternate, Maluku Utara.

Maka, demi sebuah mimpi  tentang kehidupan masa depan yang lebih baik, kendati sudah tak bekerja, Solichin menjual satu-satunya harta yang paling berharga agar anaknya bisa kuliah. Harta itu berupa sebidang tanah warisan tak seberapa dari orang tuanya di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Solichin menjual tanah itu dengan dua tujuan: untuk penyembuhan diri pasca kecelakaan, dan yang paling utama tentu saja untuk kuliah anak sulungnya. Sebab bagi keluarga ini, pendidikan adalah segalanya. Mereka yakin, hanya pendidikanlah yang sanggup menyelamatkan nasib gulita seseorang menjadi terang benderang bagai purnama.

Kendati pada awalnya si sulung menolak, namun demi menyenangkan hati ayah dan ibu kinasihnya, ia pasrah. Ia bersedia kuliah di tengah kondisi ekonomi keluarga yang sedang terpuruk diterpa badai masalah yang parah. Si sulung yang tengah gulana itu lazim dikenal dengan nama Galih Suci Pratama.

Galih Menceritakan Kisah Hidupnya dengan Bersemangat (Dok. Pribadi)

Galih lahir di kampung Mandiraja Wetan, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Ia mengenyam Sekolah Dasar dan Menengah di kampung kelahirannya. Karena prestasinya yang cemerlang, Galih sanggup melanjutkan jenjang sekolah akhir di SMAN 1 Banjarnegara -sekolah favorit di Kabupaten itu.

Selepas SMA, dengan bekal menjual sebidang tanah warisan dari kakeknya, ia melanjutkan studi ke Universitas Negeri Semarang (UNNES). Pertimbangannya, sebab di Semarang ia memiliki Bibi yang kemungkinan besar bisa dimintai pertolongan jika situasi darurat suatu saat menerpa.

Di saat teman-teman satu almamater SMA-nya diantar ke kampus dengan rombongan keluarga besar, Galih harus menerima kenyataan bahwa ia harus datang ke sana seorang diri. Ia menumpang ke salah seorang teman yang kebetulan hendak ke Semarang. Tujuannya tentu saja demi mengirit ongkos.

Hari demi hari ia lalui di tempat barunya di Semarang. Bertambahnya kawan dan pengetahuan kian membuka cakrawala berpikirnya dalam melihat dunia. Ia mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dengan tujuan agar sanggup menjadi guru di kampungnya kelak. Baginya, tak ada profesi dan jenis pengabdian di dunia ini yang lebih mulia melebihi pahlawan tanpa tanda jasa.

Sayang, ketika optimisme dan semangat menimba ilmu sedang berada di puncaknya, bekal dari hasil menjual tanah warisan hanya sanggup bertahan hingga ia menginjak semester III. Tapi Galih tak patah arang. Baginya, kehabisan bekal merupakan kado dari Tuhan agar ia lebih matang dan dewasa dalam mengeja kehidupan. Dari sinilah periode kemandirian itu bermula.

Membuka Bimbel Hingga Beasiswa

Sejak awal Galih sudah bertekad, apapun yang terjadi ia takkan mengingkari mimpi ayah ibu yang ingin sekali melihat anaknya mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Maka ia pun sudah memikirkan segala kemungkinan terburuk yang kelak harus dihadapi. Termasuk kemungkinan kehabisan bea di tengah-tengah kuliah seperti yang ia alami.

Tapi terpaan hidup yang telah ia kunyah sejak kecil, sanggup membentuk gerabah mentalnya untuk senantiasa gigih menghadapi situasi segenting apapun. Maka ia pun mencoba berbagai hal agar kuliah bisa terus berjalan tanpa harus lagi mendapat asupan bea dari orang tua.

Hal pertama yang Galih lakukan adalah menjajakan bimbingan belajar (bimbel) ke anak-anak di sekitar lingkungan kos di mana ia tinggal. Bekal ilmu yang ia raih di jurusan PGSD mampu membuatnya lekas akrab dengan anak-anak kecil seusia Sekolah Dasar.

Ia tak pernah mematok tarif pada tiap kelas bimbel yang ia buka. Baginya, komersialisasi ilmu pengetahuan dalam bentuk apapun tidak bisa dibenarkan. Berapapun akan ia terima. Ia yakin betul, selagi mampu menebar manfaat bagi banyak orang, maka jalan hidup ke depan akan kian lempang dan terang benderang.

Awalnya hanya dua anak yang mendaftar di kelas bimbingan belajar Galih. Tapi hanya dalam tempo 6 bulan, kelas bimbelnya sudah diminati oleh banyak anak dari jenjang sekolah dasar hingga menengah. Sungguh anugerah, pendapatannya dari membuka kelas bimbel sanggup menutup kebutuhan harian dan membayar kos bulanannya.

Selain membuka kelas bimbel, Galih juga mulai mencoba peruntungan dengan cara menjadi penulis lepas di berbagai media massa. Dari yang skalanya lokal, regional, hingga nasional. Dengan ketajaman analisis, bahan bacaan yang melimpah, serta kepekaan yang dimiliki, tak sulit bagi Galih untuk menjebol tembok-tembok angkuh nan tebal para redaktur opini media massa.

Infografi Biodata Galih (Dok. Pribadi)

Ia menulis semua tema-tema aktual yang hilir mudik memenuhi rongga kehidupan manusia Indonesia. Dari tema seputar pendidikan, agama, sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Tulisan-tulisan bernasnya nyaris tiap minggu menghiasi berbagai media massa. Tabungan honor menulis yang Galih dapat waktu itu lebih dari cukup untuk membayar bea per-semester di kampusnya.

Di samping menulis artikel-artikel untuk media massa, Galih juga kerap mengikuti berbagai proyek penelitian dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dari keterlibatannya pada berbagai proyek penelitian ini, Galih tak perlu sukar lagi untuk membeli buku-buku diktat kuliah maupun buku wacana lainnya. Sebab di samping mengajar anak-anak belia, hobi Galih yang sulit ditinggalkan adalah menjadi pembaca buku yang lahap.

Setelah biaya hidup, biaya kuliah, dan biaya buku terpenuhi, apa lantas Galih berhenti sampai di sini? Tidak. Galih bukanlah tipikal manusia yang mudah berpuas diri. Baginya, harus ada stok tabungan untuk mengantisipasi ketidakpastian masa depan. Maka ia pun berjuang memperoleh beasiswa dengan cara senantiasa memacu nilai kumulatif kuliahnya. Tercatat, sejak semester III Galih secara konsisten mendapat beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Ia juga mendapat beasiswa Polygon lantaran IPK-nya yang mencapai 3,96. Dari beasiswa ini, selain mendapat uang jutaan rupiah, Galih juga diberi satu unit sepeda Polygon –kendaraan pertama yang dimiliki dari jerih keringat sendiri.

Dari tabungan beasiswa inilah, pada tahun 2013 Galih bisa melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana di almamater tercinta. Dari bekal ini pula, Galih sanggup meminang gadis pujaan hatinya, Maqooshidul Falaasifah, yang berasal dari kampus yang sama. Bahkan, sejak tahun 2014 negara memberinya mandat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang musti mengabdi di SD Negeri Sekaran 02, Kota Semarang. Praktis, sejak itu Galih tinggal bersama keluarga barunya di Kelurahan Sumurrejo Kecamatan Gunungpati Kota Semarang dan menjalani profesi yang telah lama ia dambakan dengan giat dan tekun.

Inilah episode baru Galih. Ia berproses dari sekolah biasa di pelosok Banjarnegara hingga menapaki jenjang magister di kampus terkemuka dan menjadi guru yang bertitel Aparatur Sipil Negara (ASN). Mimpi Solichin dan Warsiti yang ingin melihat anaknya menapaki puncak gemilang tunai sudah. Benar kata Arai dalam novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. “Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu”.

Begitulah riwayat awal kemandirian Galih. Keterbatasan baginya bukan halangan untuk menyerah. Justru keterbatasan hakikatnya mampu menjadi tenaga dahsyat yang sanggup menciptakan perubahan-perubahan besar. Bukankah, kreativitas yang hebat kerapkali lahir dari kearifan menyikapi keterbatasan?

Proses Reportase Galih di Gunungpati Kota Semarang (Dok. Pribadi)

 

Membidani Lahirnya Janin PKY                  

Sejak pandemi melanda Bumi Manusia, banyak sekali roda kehidupan yang dipaksa berhenti. Fasilitas publik mendadak sunyi. Tempat ibadah dikunci. Perusahaan kolaps. Sekolah tutup. Interaksi sosial harus berjarak. Menyelenggarakan kerumunan ditindak. Pun tak terhitung rencana penting yang harus ditunda. Peradaban manusia mendadak harus berubah. Manusia Indonesia menjalani tahun 2020 ini praktis hanya sampai bulan Maret. Selebihnya yang tersisa hanya kekhawatiran, saling curiga, dan duka nestapa.

Hal demikian juga terjadi di sektor pendidikan. Sektor yang menjadi saka guru bangsa ini musti dihadapkan pada pilihan yang pelik. Pembelajaran yang awalnya bisa dilakukan secara tatap muka dari pagi hingga siang harus diubah pola, model, dan bentuknya menjadi pembelajaran sistem daring (dalam jaringan) atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Tak ada yang siap dengan model pembelajaran berbasis teknologi informasi ini mengingat pandemi datang begitu mendadak dan penguasaan guru terhadap teknologi masih jauh panggang dari api. Ini belum menghitung fakta bahwa tidak semua (orang tua) murid memiliki gawai canggih untuk mengikuti proses pembelajaran daring.

Seiring berjalannya waktu, kompleksitas masalah ini menjadi benang kusut yang sulit diurai. Tak terhitung sekolah (guru) yang menyelenggarakan proses pembelajaran secara serampangan. Artinya hanya menumpuk tugas demi tugas secara daring tanpa mau memikirkan kapasitas dan waktu murid. Proses pembelajaran pun akhirnya berubah menjadi rutinitas menjemukan yang berputar antara memberi tugas, mengerjakan tugas, dan menyerahkan tugas. Tak ada setitikpun ilmu dan kebijaksanaan yang terserap dari model sedemikian. Alih-alih mendapat ilmu pengetahuan, di masa pandemi lebih banyak siswa yang mengalami frustasi karena tugas dan tekanan.

Gunung es persoalan ini menemukan titik puncaknya ketika banyak orang tua yang harus membaca dengan getir berita tentang kematian AN (15), siswi Madrasah Tsanawiyah di kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang diduga melakukan bunuh diri lantaran tak tahan dengan tugas sekolah daring yang menumpuk. Atau MI (16), siswa SMA di Kabupaten Gowa yang juga disinyalir kuat bunuh diri karena terkendala dengan sistem pembelajaran jarak jauh (CNNIndonesia.com/23/10).

Berangkat dari fakta menggiriskan ini, sebagai guru muda yang kritis dan peka, Galih terusik nuraninya. Ia mencoba mencari terobosan bagaimana agar proses pembelajaran tetap berjalan secara efektif dan menyenangkan kendati dilakukan secara daring. Ia tak ingin pandemi menghambat proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Prinsipnya, apapun yang terjadi, hak siswa didik untuk mendapat konten pembelajaran yang bermutu harus tetap digalakan.

Karena itu pada bulan Maret 2020 ia bersama kawan-kawannya sesama guru muda membidani lahirnya janin perkumpulan yang bernama Rumah Pembelajaran Daring (RPD). Perkumpulan ini mencetuskan mazhab pembelajaran baru berbasis digital yang terdiri dari empat pondasi dasar: learning management system menggunakan Google Classroom, penyusunan materi memakai Microsoft Sway dan Google Slide, konferensi video memanfaatkan Google Meet dan Zoom, dan pembuatan soal melalui Quizizz dan Google Forms.

Galih Saat Melatih para Guru di Kota Semarang (Dok. Galih)

Tidak hanya berhenti di konsep, pada bulan itu juga Galih mengajak Dinas Pendidikan Kota Semarang untuk menghelat pelatihan bagi para guru dalam menggunakan semua piranti digital tersebut sebagai perangkat pembelajaran di masa pandemi. Sayangnya setelah dievaluasi pada bulan Juli, Galih menemukan kendala cukup serius. Kendala itu berupa masalah klasik dalam dunia keguruan: bahwa guru jauh lebih cakap membuat soal ketimbang menyampaikan materi ajar yang berkualitas. Juga, terjadi kegagapan serius yang dihadapi guru dalam menggunakan perangkat pembelajaran digital. Selain itu, fakta bahwa tak semua siswa didik memiliki gawai canggih juga problem lanjutan yang tak terelakkan.

Bercermin dari pelatihan pertama, Galih mendapat inspirasi baru agar guru bisa menyampaikan materi ajar secara bermutu dan murid juga bisa mengaksesnya sewaktu-waktu. Ia menjatuhkan pilihannya pada platform Youtube. Platform digital yang satu ini memang sedang naik daun dan digandrungi oleh semua kalangan. Baik belia, muda maupun manula. Beberapa waktu terakhir bahkan nyaris semua orang mendadak ingin menjadi Youtuber –dengan berbagai varian dan motif yang melatar belakanginya.

Memanfaatkan momentum itu, pada 13 Juli 2020 Galih bersama rekan-rekan guru Kota Semarang melahirkan janin yang kedua berupa kanal Youtube Pembelajaran SD Kota Semarang. Rumah Pembelajaran Daring (RPD) pun resmi memiliki sayap baru bernama Pengembang Konten Youtube (PKY). Tak lama, ia bersama timnya langsung menggagas pelatihan kedua untuk melatih para guru di seantero Kota Semarang dalam menggunakan platform baru ini. Tema pelatihan itu meliputi: a) komponen pembuatan storyline yang memuat materi bahan ajar, b) alat-alat sederhana pembuatan video, hingga c) editing video.

Setelah pelatihan, para guru dituntut mempraktikkan secara langsung dengan menggunakan standar nilai etik yang sudah ditentukan PKY. Seperti: tak boleh menyinggung SARA, tak boleh bermuatan politis, dan tentu saja tak mengandung merek dagang. Selain norma ideal itu juga ada standar teknis yang musti dipatuhi seperti menyangkut durasi dan kualitas video. Setelah diproduksi, video akan masuk list validasi, daftar antrian, dan akan diunggah secara bertahap. Prinsipnya, belajar bersama, berkarya bersama dan sukses bersama, sesuai tagline kanal tersebut.

Kini guru yang bergabung dalam tim PKY di Kota Semarang sudah mencapai 500-an orang dari 14 Kecamatan dan telah memproduksi kurang lebih 563 video. Konten materi ajarnya juga sangat komplit mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Bahkan mata pelajaran yang tak masuk tematik pun, seperti Bahasa Jawa dan Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan (PJOK), Matematika kelas tinggi dan Pendidikan Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha), terdapat videonya. Terhitung pada tanggal artikel ini dibuat (30 Desember pukul 22:30), kanal Pembelajaran SD Kota Semarang sudah meraih 39,7 ribu pelanggan (subscriber) dan 3.808.672 pemirsa (viewers). Di tengah dominasi konten horor, prank, dan pamer kekayaan para artis yang menghiasi hutan belantara Youtube Indonesia, capaian yang diraih tim PKY ini cukup mencengangkan.

Galih Saat Melatih Guru Membuat Video Konten Materi Pembelajaran (Dok. Galih)

Gagasan ini di samping sanggup menyuguhkan materi ajar pada siswa secara berkualitas, juga sangat membantu banyak guru yang gagap dalam mengeja teknologi –utamanya guru-guru senior. Selain itu, langkah demikian juga bisa menjadi percontohan bagi guru-guru lain di seluruh negeri yang memiliki problem sama selama masa pandemi. Hitung-hitung sambil meningkatkan kompetensi agar tak tergerus oleh derasnya arus zaman. Terakhir, tentu saja orang tua di rumah tak perlu mengkhawatirkan putera-puteri kinasihnya bertengkar rebutan gawai lantaran suguhan video Youtube bisa diakses kapan saja secara bergantian.

Beberapa manfaat inilah yang mendorong Sekolah Indonesia di Kinabalu (Malaysia) dan Davao (Filipina) menjadikan konten video Pembelajaran SD Kota Semarang besutan PKY sebagai referensi metode pengajaran mereka selama pandemi.

Menjulang ke Langit Menapak di Bumi

Sebenarnya jauh sebelum lahirnya RPD maupun PKY, Galih sudah berkali-kali membuat terobosan pembelajaran di almamater tempatnya mengajar, SDN Sekaran 02 Kota Semarang. Misal terobosan Kelas Inspirasi dan pembuatan buku/komik sebagai alat bantu pembelajaran. Kelas Inspirasi pada intinya adalah mengajak siswa meneladani kisah dan semangat orang-orang yang sudah menggapai cita dan asa. Tak tanggung-tanggung, Galih kerap mendatangkan para pesohor demi menyuntikkan virus semangat dan optimisme pada siswa didik. Ini digagas berangkat dari kesadaran bahwa siapapun orangnya, apapun latar belakangnya, berhak untuk sukses dan berhasil seperti mereka. Karena keberhasilan hanya akan memeluk siapapun yang gigih mewujudkan mimpi-mimpinya.

Demikian juga dengan pembuatan buku. Ayah dari Elmira Shahia Ariendra ini bukanlah tipologi guru era kolonial yang hanya cakap berpidato dan mengolah retorika. Melainkan juga guru yang piawai mengemas ide dalam balutan aksara yang tajam mempesona. Ini sekaligus mengajarkan pada para guru, bahwa proses pembelajaran tidak melulu hanya bisa dilakukan melalui ceramah monologis, melainkan juga bisa dilakukan secara tulisan dialogis. Murid yang senang menulis otomatis hobi membaca. Secara tak langsung, di samping bisa membangkitkan ranah kognitif, afektif dan psikomotoriknya, murid juga akan terpelihara dengan baik imajinasinya.

Galih menyadari betul celah ini. Makanya di samping membuat terobosan model-model pembelajaran, ia juga membuat perangkat bantu pembelajaran berupa komik. Komik itu berjudul Ayo Berbuat Baik! (2019). Percayalah siswa didik akan jauh lebih tersentuh sisi kognitifnya melalui komik ketimbang buku ajar yang sifatnya didaktik. Selain komik, Galih juga melahirkan buku Guruku (Bukan) Gurauan (2017), Kuliner Nusantara untuk Pembelajaran Karakter Bangsa (2018), Teks Pelajaran Kelas II Masa Depan Puskurbuk Kemdikbud RI (2018), dan Buku Pedoman Guru Menulis Deskriptif Menggunakan Pendekatan SAVI (2019).

Berkat kreativitas yang dinamis, maka tak heran jika sejak dulu Galih kerap menerima apresiasi dan penghargaan. Baik lingkup lokal maupun nasional. Seperti predikat Mahasiswa Berprestasi II PGSD se-Jawa (2012), Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES (2012), Juara III Lomba Penelitian Tindakan Kelas Kota Semarang (2016), Penghargaan Mendikbud RI dalam Apresiasi Pendidikan Keluarga kategori Jurnalistik (2017), Juara II Nasional Lomba Artikel Sekolah Dasar kategori Feature (2017), Penghargaan Insan Berprestasi Walikota Semarang (2017), Juara 1 Lomba Olimpiade Guru Nasional tingkat Kota Semarang (2018), Penghargaan Jurnalistik Apresiasi Pendidikan Keluarga Kemdikbud RI (2018), dan tentu saja yang paling membekas di sanubarinya adalah Penghargaan SATU Indonesia Awards (SIA) 2020 dari Astra Internasional.

 

 

Khusus yang terakhir, Galih mengaku tak menyangka akan mendapat penghargaan se-prestisius ini. Memperoleh SIA berarti musti siap untuk menjadi inspirator yang tak henti menyuntikkan semangat dan inspirasi ke segenap delapan penjuru mata angin. Sebab sampai detik ini SIA merupakan puncak menara mercusuar yang diimpikan oleh banyak sekali pegiat kreatif. Mungkin seperti penghargaan Nobel jika di luar negeri. Buktinya hampir 10.000 proposal yang masuk ke meja penyelenggara tiap tahunnya dari para insan kreatif di sekujur Nusantara.

“Astra berharap SATU Indonesia Awards dapat melahirkan banyak intan-intan bangsa yang dapat memancarkan cahaya positif generasi muda untuk menjadi inspirasi bagi masyarakat luas dan bergerak bersama menerangkan masa depan Indonesia”, ujar Presiden Direktur Astra Djony Bunarto Tjondro dalam sambutannya (31/10).

Dewan Juri SIA juga merupakan orang-orang nomor wahid di bidangnya. Prof. Emil Salim, Prof. Nina Moeloek, Prof. Fasli Jalal, Ir. Tri Mumpuni, Onno W. Purbo, Toriq Hadad, Riza Deliansyah, Boy Kelana Soebroto, Dian Sastro Wardoyo, Billy Boen adalah deretan nama yang tak asing bagi publik Indonesia. Bahkan Prof. Fasli Jalal dan Onno W. Purbo memberikan apresiasi secara khusus terhadap gagasan yang diinisiasi Galih mengenai pembelajaran via Youtube. Menurut Onno, mendapat subscriber sebanyak itu untuk kanal pendidikan merupakan capaian yang hebat dan istimewa. Lazimnya, kanal pendidikan tak begitu diminati oleh insan Youtube Indonesia.

Galih juga sempat minder dan deg-degan ketika didapuk Astra Internasional untuk mengisi webinar SATU Indonesia Awards 2020 bersama pesohor Dian Sastro Wardoyo. Tak pernah terbesit setitikpun dalam pikirannya bisa menjadi pembicara satu panggung bersama aktor film legendaris Ada Apa Dengan Cinta.

Galih dan Dian Sastro Menjadi Narasumber Press Conference SATU Indonesia Awards 2020 yang Dihadiri Rekan-Rekan Media (Dok. IG SATU Indonesia)

Demikianlah. Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Kendati sudah memuncaki langit penghargaan, Galih tetap bersemangat untuk terus berinovasi dan berbagi ke sebanyak mungkin orang. Pada penulis ia membocorkan bahwa saat ini tengah mempersiapkan gagasan barunya memformulasikan seluruh hal-ihwal pembelajaran di sekolah melalui platform Android. Ini semua ia lakukan semata demi memudahkan proses pembelajaran dan semangat berbagi pada dunia kependidikan di Indonesia.

Bahkan ketika penulis tanya, hendak dikemanakan uang hasil monetisasi Youtube dan reward SATU Indonesia Awards? Tanpa gamang sedikitpun Galih menjawab: “Akan kugunakan kembali untuk mengembangkan kompetensi guru dan memberikan beasiswa bagi murid yang tak mampu” (26/12). Galih bertekad demikian sebab ia tahu betul bagaimana rasanya tak bisa mengakses pendidikan berkualitas lantaran keterbatasan biaya.

Begitulah Galih. Ia telah menjulang ke langit tujuh, tapi kakinya tetap kuat menapak di bumi secara utuh. Sudah sepatutnya, anak muda belajar gigih pada Galih.